Rabu, 15 April 2009

Sedekah Dikembalikan Kontan Berlipat

Pada pagi yang biasanya mendung itu, Istriku berucap perlahan seolah takut membuatku marah. “Pak, antar ke pasar yuk, sudah habis persediaan di rumah, Ibu masih ada sedikit uang, biar Allah saja yang mencukupkan”
Akhir-akhir ini memang aku sangat sensitif karena sedang tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan, sudah enam bulan dan entah sampai kapan. Sepanjang-jalan ke pasar kami tidak banyak berbicara. Istriku cukup memahami situasi kegalauanku sehingga tidak banyak bertanya. Bagaimana tidak galau 10 hari lagi adalah waktunya hutang-hutang pinjaman usaha ke Bank harus kami cicil kembali untuk pembayaran bulan ini dan luar biasa rekening bank sampai bisa bernilai nol karena dipotong pembayaran atomatis. Sementara pembayaran hasil usaha belum dibayar, sudah terlambat tujuh bulan dan entah kapan serta bagaimana terealisasinya. “Ya Allah lindungilah aku dan keluargaku dari tekanan hutang piutang” do’aku dalam hati.
Seperti biasa di pasar kelompok basah tidak ada barang palsu, semua asli ciptaan Allah. Sayur, daging, ikan pasti sulit cari yang palsu, aduuh rasanya harus bersyukur masih mudah merasakan keaslian ciptaanNya.
Tiada terasa sampailah ke pedagang beras dan Istriku berujar:”Pak, uang kita tidak cukup membeli beras, masih terlalu mahal, mudah-mudahan beras di rumah cukup untuk beberapa hari ke depan, kita pulang saja, cukup untuk hari ini”
Tertegun dan sedih dalam hati “Ya Allah sampailah saatnya aku tidak sanggup membeli beras, percuma menggerutu hasil operasi pasar, mudahkanlah kami ya Allah”
Seminggu setelah itu, usai sholat Subuh, aku teringat adik pengojeg yang memiliki 2 tanggungan sementara menanggung pula adik iparnya beserta 1 anak yatim masih harus membagi dua hasil ojegnya setiap hari dengan tetangganya. Terlintas pula tetangga tukang bangunan yang sedang tidak memiliki pekerjaan sementara Istrinya menjadi pembantu rumah tangga harian dengan 4 tanggungan anak. Mereka pasti lebih sulit dari aku.
Menjelang waktu Dhuha, Istriku menelepon bank, mudah-mudahan sudah ada pembayaran, ternyata belum…dug seperti dipukul palu untuk kesekian kalinya. Istriku menangis karena merasa terdesak, kami hanya dapat melakukan Dhuha dan Istikharah saat itu. Setelah selesai tiba-tiba aku teringat bahwa masih ada jalan untuk membeli beras dibanding pengojeg dan tukang bangunan itu, dengan meminjam kembali ke Bank. Diawali sholat mutlak, kupanjatkan pada Allah bahwa aku tidak mau menganiaya diri sendiri dengan menambah hutang, aku punya sedikit keleluasaan berhutang, bila kubelikan 3 karung beras dan 2 karung ku sedekahkan pada pengojeg dan tukang bangunan untuk memudahkan mereka, ku harap hanya Allah saja yang memudahkan seluruh urusanku apapun bentuknya.
Hari itu kami berhutang kembali, tidak lebih, hanya untuk 3 karung beras dengan niat 2 karung sedekah ikhlas karena Allah SWT. Sepulang dari pasar kami langsung ke rumah tetangga tukang bangunan, kami serahkan 1 karung saat Istrinya masih bekerja. Hanya ada 1 rasa saat itu, lega berbuat sesuatu yang diperlukan orang lain, mudah-mudahan mendatangkan kebaikan bagi semua.
Keesokan malamnya dalam hujan setelah menempuh 1,5jam perjalanan, datang adik beserta istrinya yang ternyata sedang hamil 7 bulan untuk mengambil beras. Selama ini mereka menerima raskin 5Kg/Bln/Jiwa, kembali hanya ada 1 rasa saat itu, lega berbuat sesuatu yang diperlukan orang lain, mudah-mudahan mendatangkan kebaikan bagi semua.
Hari ini adalah saatnya pembayaran cicilan pinjaman bank, Ya Allah Alhamdulillah dalam rekening sudah ada pembayaran hasil pekerjaan dan kami tidak perlu mencicil tapi karena ijin Allah dapat dilunasi semua. Kalau dibandingkan secara matematis maka beras sedekah itu dibayar kontan oleh Allah sebesar 300 kali lipat.
Allah Maha Pengatur. Terlambat satu hari, denda dan bunga bank cukup menyakitkan. Lebih cepat satu hari, rasa bergantungnya pada Allah akan terasa lain dan tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Ternyata rejeki tidak hanya uang, tetapi momen, kesehatan, keselamatan, kejernihan hati dan fikiran, kenikmatan beribadah dan beramal dan masih banyak lagi… semua adalah rejeki.
Bonus yang didapat karena Allah adalah membebaskan satu keluarga dari pinjaman rentenir dan memberikan satu keluarga lain sarana usaha. Maha Suci Allah, kami memiliki jalan lagi dari Allah untuk mengumpulkan harta bekal `pulang’ kami nanti. Ya betul-betul harta untuk bekal kami sendiri bukan untuk diwariskan. Sedangkan harta yang katanya milik kita, sebenarnya bukan harta kita tapi harta warisan ahli waris kita…Astagfirullah jangan sampai kita sibuk mengurus harta ahli waris kita sementara kita lupa `bekal pulang harta’ kita sendiri.
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan” (QS 2: 245)

Senin, 06 April 2009

MENGGAMBAR MAKHLUK YANG BERNYAWA

Dari Abdullah Bin Mas’ud Radhiallahu’anhu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda

“Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya kelak pada hari kiamat adalah para perupa” (HR Al Bukhari, Fathul Bari : 10/382)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam Bersabda:

“Allah Tabaroka wata’ala berfirman : “siapakah yang lebih zhalim dari pada orang yang menciptakan (sesuatu) seperti ciptaanKu. Maka hendaknya mereka menciptakan sebutir biji atau menciptakan seekor semut kecil” (HR Al Bukhari, Fathul Bari : 10/385)

Dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Setiap tukang gambar ada di nereka, diciptakan untuknya (dari) setiap gambar yang ia bikin sebuah nyawa, sehingga disiksa di Jahannam.”

Ibnu Abbas berkata : “Jika tidak ada jalan lain kecuali engkau harus menggambar maka gambarlah pepohonan dan sesuatu yang tidak bernyawa” (HR Muslim : 3/1671)

Hadits-hadits di muka adalah dalil diharamkannya menggambar sesuatu yang memiliki ruh, baik manusia atau hewan, memiliki bayangan atau tidak. Gambar yang dimaksud bersifat umum, baik berupa cetakan, dengan tangan biasa, relief, ukiran, pahatan, atau patung yang di buat dengan cetakan, semua hukumnya haram.

Seoarang muslim adalah orang yang patuh terhadap ketentuan nash syariat. Ia tidak membantah dengan mengatakan: “saya tidak menyembah dan bersujud kepada gambar-gambar itu !!”

Seandainya orang yang berakal mau sedikit berfikir dan merenungkan satu saja dari bahaya beredarnya gambar-gambar pada saat ini, niscaya ia mengetahui hikmah mengapa gambar-gambar itu diharamkan dalam Islam. Yaitu, betapa saat ini kita saksikan gambar-gambar telah banyak membuat kerusakan tatanan masyarakat. Gambar-gambar porno merebak di mana-mana. Gambar-gambar tersebut merangsang dan membangkitkan syahwat dan nafsu birahi sehingga tak jarang gara-gara pengaruh melihat gambar tersebut orang kemudian nekat melakukan perbuatan zina. Seharusnya setiap muslim tidak menyimpan di rumahnya gambar-gambar dari makhluk yang bernyawa, karena hal itu akan menjadi sebab enggannya malaikat masuk rumah.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing atau gambar-gambar” (HR Al Bukhari, Fathul Bari : 10/380)

Di sebagian rumah umat Islam, kita menyaksikan patung-patung, bahkan sebagiannya merupakan sesembahan orang-orang kafir, patung-patung itu dijajar yang menurut dalih mereka sebagai koleksi (Barang antik) atau hiasan. Hukum haramnya patung-patung tersebut tentu lebih keras dari pada yang lainnya, juga gambar yang digantung (di dinding) lebih keras dari yang tidak di gantung.

Berapa banyak gambar-gambar yang menyebabkan pengkultusan. Berapa gambar-gambar yang justru mengungkap kembali luka sejarah yang menyedihkan. Berapa banyak gambar-gambar yang kemudian mengakibatkan saling menyombongkan diri.

Ada yang mengatakan, gambar itu sebagai kenangan, ini tidak benar, sebab tempat mengenang, misalnya pada keluarga atau saudara sesama muslim adalah di hati, dengan mendoakan agar mereka diampuni oleh Allah dan mendapatkan rahmat Nya. Karena itu, setiap gambar harus di keluarkan dari rumah atau dihancurkan. Kecuali gambar-gambar yang memang sulit sekali dihilangkan dan sungguh ini adalah bencana umum umat Islam seperti gambar-gambar yang ada di dalam kaleng-kaleng makanan, gambar-gambar dalam kamus, buku-buku referensi dan buku-buku yang ada manfaat di dalamnya. Tetapi dengan tetap berusaha menghilangkannya, jika memungkinkan, terutama gambar-gambar yang kotor dan jauh dari akhlak islam. Dan dibolehkan menyimpan gambar-gambar yang amat dibutuhkan. Misalnya photo diri dalam KTP. Sebagian ulama juga ada yang membolehkan gambar pada perabot-perabot rumah, seperti pada karpet atau alas lantai (yang diinjak kaki).

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semampumu” (At Taghabun : 16).

MENYEMIR RAMBUT DENGAN WARNA HITAM

Hukum menyemir rambut dengan warna hitam adalah haram. Inilah pendapat yang kuat berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :

“Kelak pada akhir zaman akan ada kaum yang menyemir (rambutnya) dengan (bahan) hitam seperti tembulon burung merpati, mereka tidak (akan) mendapatkan wanginya surga” (HR Abu Dawud,4/419; Shahihul Jami’ :8153)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh An Nasai dengan sanad shahih. Ket : Syaikh Bin Baz

Perbuatan ini banyak dilakukan orang-orang yang sudah tumbuh uban. Mereka menyemir rambutnya yang sudah putih itu dengan bahan penghitam rambut, sehingga orang tidak mengerti kalau dia telah ubanan. Itu berarti penampilan dengan sesuatu yang palsu. Dengan demikian ia telah menipu segenap hamba Allah.

Tak diragukan lagi, perbuatan tersebut mengakibatkan banyak dampak buruk. Misalnya dengan tingkah laku, bahkan mungkin ia akan merasa sombong dan bangga diri karena merasa lebih muda dari usia yang sebenarnya.

Berbeda halnya dengan menyemir rambut dengan warna selain warna hitam. Dalam suatu riwayat disebutkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyemir ubannya dengan daun pacar atau semacamnya dengan warna kekuning-kuningan atau kemerah-merahan atau agak dekat ke warna coklat.

Pada hari pembukaan kota Mekkah, Abu Quhafah dibawa menghadap Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sedang kepala dan jenggotnya semua telah memutih, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam lalu bersabda :

“Ubahlah ini (uban ini) dengan sesuatu, hindarkanlah (dari warna) hitam ” (HR Muslim : 3/1663)

Hukum untuk wanita juga sama. Mereka tidak boleh menyemir rambutnya yang telah memutih dengan warna hitam.

LAKI-LAKI MENYERUPAI WANITA ATAU SEBALIKNYA

Di antara fitrah yang disyariatkan Allah kepada hambanya yaitu agar laki-laki menjaga sifat kelakiannya seperti yang diciptakan Allah Subhanahu wata’ala. Dan wanita agar menjaga sifat kewanitaannya seperti yang diciptakan Allah Subhanahu wata’ala. Hal ini merupakan salah satu sifat penting yang dimana dengannya kehidupan manusia berjalan normal.

Laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki adalah yang menyalahi fitrah, membuka pintu kerusakan serta menyebarkan kepincangan dalam tatanan hidup masyarakat. Hukum semua perbuatan itu adalah haram.

Jika suatu nash syari’ menyebutkan laknat terhadap suatu kaum karena melakukan perbuatan tertentu, maka itu menunjukkan keharaman perbuatan tersebut, maka ia termasuk dosa besar.

Dalam hadits marfu’ riwayat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu di sebutkan:

“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR Al Bukhari Fathul Bari : 10/332).

Dalam hadits lain juga Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu meriwayatkan :

“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melaknat laki-laki yang bertingkah laku seperti wanita dan wanita yang bertingkah laku seperti laki-laki” (HR Al Bukhari, fathul Bari, 10/333)

penyerupaan yang dimaksud bersifat umum. Misalnya didalam melakukan gerakan tubuh dalam berbicara dalam berjalan dan di dalam seluruh gerak diam.

Termasuk di dalamnya cara berpakaian dan berdandan. Laki-laki tidak dibolehkan memakai kalung, gelang, anting, gelang kaki, dan sebagainya. Ironisnya, ini yang banyak kita saksikan, sebab semua itu merupakan perhiasan wanita.

Demikian juga sebaliknya, wanita tidak diperbolehkan memakai pakaian yang khusus digunakan laki-laki. Misalnya kemeja, baju atau pakaian khusus untuk pria lainnya. Masing-masing hendaknya menjaga perbedaan jenisnya, dengan memakai pakaian sesuatu dengan fitrahnya. Dalil yang mewajibkan hal tersebut adalah hadits marfu’ riwayat Abu Hurairah :

“Allah melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakian laki-laki” ( HR Abu Dawud: 4/355; Shahihul Jami’ : 5071).

LAKI-LAKI ATAU WANITA YANG MENYAMBUNG RAMBUTNYA

Asma’ binti abu bakar berkata : seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. wanita itu berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai anak-anak perempuan yang pernah terserang campak sehingga rambutnya rontok, kini ia mau menikah, bolehkah aku menyambung (rambut) nya?

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab :

“Allah melaknat perempuan yang menyambung (rambut) dan yang meminta disambungkan rambutnya” (HR Muslim: 3/1676)

Dan dari jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu ia berkata :

“Nabi Shallallahu’alaihi wasallam melarang wanita menyambung (rambut) kepalanya dengan sesuatu apapun” (HR Muslim :3/1679).

Termasuk dalam hal ini adalah mengenakan sanggul dan wig palsu yang biasanya dipasangkan oleh perias-perias yang salon-salon mereka penuh dihiasi dengan berbagai kemungkaran.

Termasuk perbuatan haram ini adalah memakai rambut palsu sebagaimana banyak dilakukan orang-orang yang tidak memiliki moral baik dari kalangan artis, bintang film, pemain drama teater dan sebagainya.

MENGENAKAN PAKAIAN PENDEK, TIPIS DAN KETAT

Di antara perang yang dilancarkan musuh-musuh Islam pada zaman ini adalah soal mode pakaian. Musuh-musuh Islam itu menciptakan bermacam-macam mode pakaian lalu dipasarkan di tengah-tengah kaum muslimin.

Ironinya, pakaian-pakaian tersebut tidak menutup aurat karena amat pendek, tipis dan ketat. Bahkan sebagian besar tidak dibenarkan dipakai oleh wanita, meski di antara sesama mereka atau di depan mahramnya sendiri.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengabarkan bakal munculnya pakaian seperti ini di akhir zaman, beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Dua (jenis manusia) dari ahli neraka yang aku belum melihatnya sekarang yaitu ; kaum yang membawa cemeti-cemeti seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengannya, dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi talanjang, berjalan dengan menggoyang-goyang pundaknya dan berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk onta yang condong. Mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapat wanginya, dan sungguh wangi surga telah tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian” (HR Muslim : 3/1680).

Termasuk dalam kategori ini adalah pakaian sebagian wanita yang memiliki sobekan panjang dari bawah, atau yang ada lubang di beberapa bagiannya, sehingga ketika duduk tampak auaratnya.

Di samping itu, yang mereka lakukan juga termasuk yang menyerupai orang-orang kafir, mengikuti mode serta busana bejat yang mereka buat. Kepada Allah kita memohan keselamatan.

Di antara yang juga berbahaya adalah adanya berbagai gambar buruk di pakaian; seperti gambar penyanyi, kelompok-kelompok musik, botol dan cawan arak, juga gambar-gambar makhluk yang bernyawa, salib, atau lambang-lambang club-club dan organisasi-organisasi non Islam, juga slogan-slogan kotor yang tidak lagi memperhitungkan kehormatan dan kebersihan diri, yang biasanya banyak ditulis dalam bahasa asing.

LAKI-LAKI MEMAKAI PERHIASAN EMAS

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Dihalalkan atas kaum wanita dari umatku sutera dan emas, (tetapi keduanya) diharamkan atas kaum lelaki mereka” (Hadits Marfu’ dari Abu Musa Al Asy’ari, riwayat Imam Ahmad : 4 / 393 ; Shahihul Jami’ : 207).

Saat ini, di pasar atau toko-toko banyak kita jumpai barang-barang konsumsi laki-laki yang terbuat dari emas. Seperti jam tangan, kaca mata, kancing baju, pena, rantai, medali, dan sebagainya dengan kadar emas yang berbeda-beda. Ada pula yang sepuhan. Termasuk jenis kemungkaran dalam masalah ini adalah; hadiah yang diberikan pada sayembara-sayembara dan pertandingan-pertandingan, misalnya sepatu emas, jam tangan emas pria, dan sebagainya.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melihat cincin emas di tangan seseorang, serta merta beliau mencopot lalu membuangnya, kemudian beliau bersabda :

“Salah seorang dari kamu sengaja (pergi) ke bara api, kemudian memakainya (mengenakannya) di tangannya! Setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pergi, kepada laki-laki itu dikatakan : Ambillah cincinmu itu dan manfaatkanlah! Lalu ia menjawab : “demi Allah, selamanya aku tak akan mengambilnya, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah membuangnya” (HR Muslim : 3/ 1655).

ISBAL (MENURUNKAN ATAU MEMANJANGKAN PAKAIAN HINGGA DI BAWAH MATA KAKI)

Di antara yang dianggap sepele oleh manusia, sedang di dalam pandangan Allah merupakan masalah besar adalah soal isbal, yaitu menurunkan atau memanjangkan pakaian hingga di bawah mata kaki, sebagian ada yang pakaiannya hingga menyentuh tanah, sebagian menyapu debu yang ada di belakangnya.

Abu Dzar Radhiallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Tiga (golongan manusia) yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak pula dilihat dan disucikan serta bagi mereka siksa yang pedih ; Musbil (orang yang memanjangkan pakaiannya sehingga di bawah mata kaki) dalam sebuah riwayat dikatakan: “Musbil kainnya. Lalu (kedua) mannan. Dalam riwayat lain di katakan: Yaitu orang-orang yang tidak memberi sesuatu kecuali ia mengungkit-ungkitnya. Dan (ketiga) orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu. (HR Muslim : 1/102)

Orang yang berdalih, saya melakukan isbal tidak dengan niat takabbur (sombong) hanyalah ingin membela diri yang tidak pada tempatnya. Ancaman untuk musbil adalah mutlak dan umum, baik dengan maksud takabbur atau tidak sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :

“Kain (yang memanjang) di bawah mata kaki tempatnya di neraka” (HR Imam Ahmad 6/254, Shahihul Jami’ :5571).

Jika seseorang melakukan isbal dengan niat takabbur, maka siksanya akan lebih dan berat, yaitu termasuk dalam sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam :

“Barangsiapa menyeret celananya dengan takabbur, niscaya Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat” (HR Al Bukhari: 3/465).

Sebab dengan begitu ia melakukan dua hal yang diharamkan sekaligus, yakni isbal dan takabbur.

Isbal diharamkan dalam semua pakaian, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam yang diriwayatkan Ibnu Umar Radhiallahu’anhu :

“Isbal itu dalam kain celana atau sarung, gamis (baju panjang) dan sorban. Barangsiapa yang menyeret daripadanya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat” (HR Abu Dawud :4/353, Shahihul Jami’ : 2660).

Adapun wanita mereka diperbolehkan menurunkan pakainnya sebatas satu jengkal atau sehasta untuk menutupi kedua telapak kakinya, sebab ditakutkan akan tersingkap oleh angin atau lainnya. Tetapi tidak dibolehkan melebihi yang wajar seperti umumnya busana pengantin (ala barat) yang panjangnya di tanah hingga beberapa meter, bahkan mungkin kainnya harus ada yang membawakan dari belakangnya.

BERBISIK EMPAT MATA DAN MEMBIARKAN KAWAN KETIGA

Dalam sebuah majlis dan pergaulan, sikap dan tindakan ini sungguh amat tidak terpuji, bahkan sikap dan tindakan seperti ini sebenarnya merupakan langkah syaitan untuk memecah belah umat Islam dan menebarkan kecemburuan, kecurigaan dan kebencian di antara mereka.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menerangkan hukum dan akibat perbuatan ini dalam sabdanya:

“Jika kalian sedang bertiga, maka janganlah dua orang berbisik tanpa seorang yang lain, sehingga kalian membaur dalam pergaulan dengan manusia, sebab yang demikian itu akan membuatnya sedih” (HR Al Bukhari, Fathul Bari : 11/83).

Termasuk di dalamnya berbisik dengan tiga orang dan meninggalkan orang keempat dan demikian seterusnya.

Demikian pula, jika kedua orang tersebut berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang ketiga.

Tidak diragukan lagi, berbisik hanya berdua dengan tidak menghiraukan orang ketiga adalah salah satu bentuk penghinaan kepadanya. Atau memberikan asumsi bahwa keduanya menginginkan suatu kejahatan terhadap dirinya. Atau mungkin menimbulkan asumsi-asumsi lain yang tidak menguntungkan bagi kehidupan pergaulan mereka di kemudian hari.

MELONGOK RUMAH ORANG TANPA IZIN

Allah Tabaroka wata’ala berfirman :

“Hai orang-orang yang briman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya” (An Nur:27)

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menegaskan, alasan diharuskannya meminta izin adalah karena dikawatirkan orang yang masuk akan melihat aurat rumah. Beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Sesungguhnya diberlakukannya meminta izin (ketika masuk rumah orang lain) adalah untuk (menjaga) penglihatan” (HR Al Bukhari, fathul Bari : 11/24)

Pada saat ini, dengan berdesakannya bangunan dan saling berdempetnya gedung-gedung serta saling berhadap-hadapannya antara pintu dengan pintu dan jendela dengan jendela, menjadikan kemungkinan saling mengetahui isi rumah tetangga kian besar. Ironisnya, banyak yang tak mau menundukkan pandangannya, malah yang terjadi terkadang dengan sengaja, mereka yang tinggal di gedung yang lebih tinggi, dengan leluasa memandangi lewat jendela mereka ke rumah-rumah tetangganya yang lebih rendah. Ini adalah salah satu pengkhianatan dan pemerkosaan terhadap hak-hak tetangga, sekaligus sarana menuju yang diharamkan, karena perbuatan tersebut, banyak kemudian menjadi bencana dan fitnah.

Dan disebabkan oleh bahayanya akibat tindakan ini, sehingga syariat Islam membolehkan mencongkel mata orang yang suka melongok dan melihat isi rumah orang lain.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Barangsiapa melongok rumah suatu kaum dengan tanpa izin mereka, maka halal bagi mereka mencongkel mata orang tersebut (HR Muslim: 3/699).

Dalam riwayat lain dikatakan :

” … kemudian mereka mencongkel matanya, maka tidak ada diat (ganti rugi) untuknya juga tidak ada qishash baginya” (HR Ahmad,2/385, Shahihul Jami’ : 6022).

NAMIMAH (MENGADU DOMBA)

Namimah adalah mengadukan ucapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak salah satu faktor yang menyebabkan terputusnya ikatan, serta yang menyulut api kebencian dan permusuhan antar sesama manusia.

Allah Subhanahu wata’ala mencela pelaku perbuatan tersebut dalam firmanNya :

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambar fitnah: (Al Qalam : 10-11).

Dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan Hudzaifah Radhiallahu’anhu disebutkan :

“Tidak akan masuk surga bagi Al Qattat (tukang adu domba] [HR Al Bukhari, lihat Fathul Bari :10/472].

Dalam An Nihayah karya Ibnu Katsir 4/11 disebutkan : ” Al qattat adalah orang yang menguping (mencuri dengar pembicaraan) tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba”.

Ibnu Abbas meriwayatkan :

“(suatu hari) Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melewati sebuah kebun di antara kebun-kebun Madinah, tiba-tiba beliau mendengar dua orang yang disiksa dalam kuburnya, lalu Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Keduanya disiksa, padahal tidak karena masalah yang besar (dalam anggapan keduanya) –lalu bersabda– benar (dalam sebuah riwayat disebutkan: padahal sesungguhnya ia adalah persoalan besar) seorang diantaranya tidak meletakkan sesuatu untuk melindungi diri dari percikan kencingnya dan seorang lagi (karena) suka mengadu domba” (HR Al Bukhari, Fathul Bari :1/317).

Di antara bentuk Namimah yang paling buruk adalah hasutan yang dilakukan terhadap seorang lelaki tentang istrinya atau sebaliknya, dengan maksud untuk merusak hubungan suami istri tersebut. Demikian juga adu domba yang dilakukan sebagian karyawan kepada teman karyawannya yang lain. Misalnya dengan mengadukan ucapan-ucapan kawan tersebut kepada direktur atau atasan dengan maksud untuk menfitnah dan merugikan karyawan tersebut. Semua hal ini hukumnya haram.

GHIBAH (MENGGUNJING)

Dalam banyak pertemuan di majlis, sering kali yang dijadikan hidangannya adalah menggunjing (membicarakan orang lain). Padahal Allah Subhanahu wata’ala melarang hal tersebut, dan menyeru agar segenap hamba menjahuinya. Allah menggambarkan dan mengidentikkan ghibah dengan sesuatu yang amat kotor dan menjijikkan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? maka tentulah kamu merasa jijik dengannya” (Al Hujurat : 12)

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam menerangkan makna ghibah (menggunjig) dengan sabdanya :

“Tahukah kalian apakah ghibah itu? Mereka menjawab : Allah dan RasulNya yang mengetahui. Beliau bersabda : Yaitu engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya, ditanyakan : “Bagaimana halnya jika apa yang aku katakan itu (memang) terdapat pada saudaraku ? beliau menjawab : jika apa yang kamu katakan terdapat pada saudaramu maka engkau talah menggunjingnya (melakukan ghibah) dan jika ia tidak terdapat padanya maka engkau telah berdusta padanya” (HR Muslim : 4/2001)

jika ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan), baik dalam soal keadaan jasmaninya, agamanya, kekayaannya, hatinya, Akhlaknya, bentuk lahiriyahnya dan sebagainya. Caranyapun bermacam-macam. Di antaranya dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-olok.

Banyak orang meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Allah ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Hal itu dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :

“Riba itu ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri) dan yang paling berat adalah pergunjingan seorang laki-laki atas kehormayan saudaranya” (As Silsilah Ash Shahihah : 1871).

Wajib bagi orang yang hadir dalam majlis yang sedang menggunjingkan orang lain, untuk mencegah kemungkaran dan membela saudaranya yang dipergunjingkan. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam amat menganjurkan hal demikian, sebagaimana dalam sabdanya :

“barangsiapa menolak (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menolak api Neraka dari wajahnya” (HR Ahmad : 6/450, Shahihul Jami’ : 6238).

MENDENGARKAN DAN MENIKMATI MUSIK

Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu bersumpah dengan nama Allah bahwa yang dimaksud dengan firman Allah:

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan, mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” (Luqman : 6) adalah nyanyian [Tafsir Ibnu Katsir : 6/333]

Abi Amir dan Abi Malik Al Asy’ari Radhiallahu’anhu meriwayatkan, bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam:

“Kelak akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan alat-alat musik” (HR Al Bukhari, Fathul Bari : 10/51)

Dan dalam hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Kelak akan terjadi pada umat ini (tiga hal) : (mereka) ditenggelamkan (kedalam bumi), dihujani batu, dan diubah bentuk mereka, yaitu jika mereka minum arak, mengundang biduanita-biduanita (untuk menyanyi) dan menabuh (membunyikan) musik” [As Silsilah Ash Shahihah, 2203, diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam kitab Dzammul Malahi dan At Tirmidzi no : 2212].

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam melarang gendang, lalu menyatakan, seruling adalah suara orang bodoh dan tukang maksiat. Para ulama terdahulu seperti Imam Ahmad Ibnu Hanbal Rahimahullah berdasarkan hadits–hadits shahih yang melarang alat-alat musik secara mutlak telah menetapkan haramnya alat-alat musik seperti kecapi, seruling, rebab, simbab, dan yang lainnya.

Tidak diragukan lagi, alat-alat musik modern yang kita kenal saat ini masuk dalam kategori alat-alat musik yang dilarang oleh Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. seperti piano, biola, harpa, gitar, dan sebagainya. Bahkan alat modern tersebut lebih cepat mempengaruhi mabuknya jiwa dari pada alat-alat musik zaman dulu yang telah diharamkan dalam beberapa hadits.

Menurut penuturan para ulama, di antaranya Ibnu Qayyim, keterlenaan dan mabuknya jiwa akibat pengaruh nyanyian lebih besar bahayanya dari pada akibat minum arak. Kemudian tak diragukan lagi, pelanggarannya akan lebih keras dan dosanya akan lebih besar jika alat-alat musik tersebut diiringi dengan nyanyian, baik oleh biduan atau biduan wanita. Lalu, bahayanya akan lebih bertumpuk jika untaian kata-kata syairnya berkisah tentang cinta, asmara, kecantikan wanita atau kegagahan pria

Karena itu tidak mengherankan jika para ulama menyebutkan, nyanyian adalah sarana yang menghantarkan pada perbuatan zina, menumbuhkan perasaan nifak di dalam hati. Dan secara umum, nyanyian dan musik adalah tema besar zaman ini yang melahirkan banyak fitnah.

Musibah itu semakin menjadi-jadi, setelah pada saat ini kita saksikan musik menyelusup setiap barang dan ruang. Seperti jam dinding, bel, mainan anak-anak, komputer, pesawat telpon, dan sebagainya.

Saat ini bahkan kita kenal istilah dakwah lewat musik. Adakah pencampuradukan antara kebenaran dan kebatilan yang lebih nyata dari ini ?

Untuk menghindari barbagai hal di atas sungguh memerlukan kekuatan hati yang tangguh. Mudah-mudahan Allah menjadi penolong kita semua. Amin …..

KESAKSIAN PALSU

Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta, dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia” (Al Hajj: 30-31).

Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abi Bakrah Radhiallahu’anhu dari ayahnya, ia berkata, “Kami sedang berada di sisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam lalu beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Maukah, aku kabarkan kepada kalian tentang tiga dosa besar ? (tiga kali) yaitu menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua,” (ketika beliau bersender, kemudian beliau duduk dan berkata) : ketahuilah, dan perkataan dosa.” Ia berkata : “dan Rasulullah masih terus mengulang-ngulangnya sehingga kami berkata : “sekiranya beliau diam” (HR Al Bukhari, Fathul Bari : 5/261).

Berulang-ulangnya peringatan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tentang kesaksian palsu tersebut karena banyak orang yang meremehkannya. Di samping banyak faktor yang mengakibatkan kesaksian palsu, misalnya karena permusuhan, dengki, dan sebagainya. Juga karena kesaksian palsu mengakibatkan berbagai bentuk kerusakan di muka bumi. Berapa banyak orang yang kehilangan hak-haknya karena kesaksian palsu, berapa banyak pula penganiayaan menimpa orang-orang yang tidak berdosa di sebabkan kesaksian palsu, atau seseorang mendapatkan sesuatu yang bukan haknya, atau dinisbatkan kepada nasab yang bukan nasabnya. Semua itu disebabkan karena kesaksian palsu.

Termasuk menganggap enteng masalah ini adalah apa yang dilakukan oleh sebagian orang di pengadilan dengan mengatakan kepada seseorang yang ia temui: “jadilah saksi untukku, nanti aku akan menjadi saksi untukmu.” Maka laki-laki itupun memberikan kesaksian atas perkara yang tidak ia ketahui. Misalnya memberi kesaksian tentang pemilikan tanah, rumah, atau keterangan bersih diri. Padahal dia tidak pernah bertemu dengan orang tersebut kecuali di pintu pengadilan atau di koridor / lobi. Ini adalah satu kedustaan. Seharusnya, semua bentuk kesaksian itu adalah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :

“Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui” ( Yusuf : 81).

MENGGUNAKAN BEJANA DARI EMAS DAN PERAK

saat ini hampir setiap toko-toko ada alat-alat perabotan rumah tangga menjual aneka ragam bejana yang terbuat dari emas dan perak atau bejana yang disepuh dengan keduanya.

Demikian juga rumah orang-orang kaya dan hotel-hotel mewah, bahkan saat ini bejana emas dan perak memberi kelas dan gengsi tersendiri jika dihadiahkan sebagai cindera mata kepada kawan karib atau kolega pada kesempatan-kesempatan tertentu. Sebagian orang, ada yang tidak memajang barang-barang itu di etalase rumahnya, tetapi mereka pergunakan dalam kesempatan-kesempatan pesta, atau dipinjamkan kepada kawan-kawannya yang membutuhkan.

Semua hal yang disebutkan di atas, dalam syariat Islam hukumnya haram. Dalam hadits yang di riwayatkan Ummu salamah, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memberikan ancaman kepada mereka, beliau bersabda :

"Orang yang makan atau minum di bejana perak atau emas, sesungguhnya ia menggemuruhkan api jahannam di perutnya" (HR Muslim : 3/1634)

ketentuan hukum di atas berlaku untuk semua perabotan dan perlengkapan makan. Seperti piring, garpu, sendok, pisau, nampan untuk menyuguhkan makanan kepada tamu, kaleng kue yang disuguhkan saat pesta dan bejana lainnya yang terbikin dari bahan emas dan perak.

Sebagian orang berkata, kami tidak menggunakan bejana-bejana tersebut, tetapi hanya menyimpannya di almari sebagai perhiasan, semacam ini juga tidak diperbolehkan, demi mencegah kemungkinan dipakainya perabotan tersebut [Diambil dari keterangan Syaikh Abdul Aziz bin Baz secara lisan]

MINUM ARAK MESKI HANYA SETETES

Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Sesungguhnya (minuman) arak, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbutan keji termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al Maidah :90).

Perintah untuk menjauhi adalah salah satu dalil paling kuat tentang haramnya sesuatu. Di samping itu, pengharaman arak sebagaimana disebutkan ayat di atas disejajarkan dengan pengharaman berhala-berhala, yakni tuhan orang-orang kafir dan patung-patung mereka. Karena itu tak ada lagi alasan bagi orang yang mengatakan, ayat Alqur’an tidak mengatakan minuman arak itu haram tetapi hanya mengatakan jauhilah!!

Dalam sunnahnya Nabi Shallallahu’alaihi wasallam mengabarkan tentang ancaman bagi peminum arak, sebagaimana yang diriwayatkan Jabir Radhiallahu’anhu dalam sebuah hadits marfu’:

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala memiliki janji untuk orang-orang yang meminum minuman keras, akan memberinya minum dari Thinatul khabal” mereka bertanya : ” wahai Rasulullah, apakah Thinatil khabal itu ? beliau menjawab : keringat ahli neraka atau cairan kotor (yang keluar dari tubuh) penghuni neraka (HR Muslim : 3/1587).

Dalam hadits marfu’ Ibnu Abbas meriwayatkan :

“Barang siapa meninggal sebagai peminum arak, maka ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan seperti penyembah berhala” (HR Ath Thabrani, 12/45, Shahihul Jami’ : 6525)

Saat ini jenis minuman keras dan arak sangat beragam. Nama-namanya juga sangat banyak baik dengan nama lokal maupun asing. Di antaranya, bir, wiski, alkohol, vodka, sampanye, arak, dan sebagainya.

Di zaman ini pula, telah muncul golongan manusia sebagaimana disebutkan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam dalam sabdanya :

“Sungguh akan ada dari umatku yang meminum arak, (tetapi) mereka menamakannya dengan nama yang lain” (HR Ahmad, 5/342, Shahihul Jami’ : 5453).

Mereka tidak menamakannya arak, tetapi menamakannya dengan nama lain, untuk menipu dan memperdaya orang. “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar” (Al Baqarah : 9).

Syariat Islam telah memberikan definisi agung tentang khamar (minuman keras), sehingga membuat jelas masalah dan memotong tipu daya, fitnah dan permainan orang-orang yang tidak takut kepada Allah. Definisi itu adalah sebagaimana di sabdakan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :

“Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan setiap yang memabukkan adalah haram” (HR Muslim : 3/ 1587).

Jadi, setiap yang merusak akal dan memabukkan adalah hukumnya haram, sedikit atau banyak, juga meskipun namanya berbeda-beda, sebab pada hakekatnya jenis minumannya tetap satu dan hukumnya telah diketahui oleh kalangan umum.

Hadits yang mengatakan, “semua yang banyak jika memabukkan, maka sedikitpun diharamkan” [diriwayatkan Abu Dawud dengan No : 3681, tertera dalam Shahih beliau dengan no : 3128)

Yang terakhir dan ini merupakan wejangan dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam kepada para peminum Khamar, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

"Barangsiapa minum khamar dan mabuk, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh pagi, dan jika meninggal ia masuk neraka. (tetapi) manakala ia bertaubat, Allah akan menerima taubatnya. Dan jika kembali lagi minum dan mabuk, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh pagi, jika meninggal ia masuk neraka, (tetapi) manakala ia bertaubat, Allah menerima taubatnya. Dan jika kembali lagi minum dan mabuk, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh pagi, jika meninggal ia masuk neraka, (tetapi) manakala ia bertaubat, Allah menerima taubatnya. Dan jika (masih) kembali lagi (minum khamar) maka adalah hak Allah memberinya minum dari radghatul khabal pada hari kiamat" mereka bertanya : "Wahai Rasulullah, apakah radghatul khabal itu? beliau menjawab : "cairan kotor (yang keluar dari tubuh) penghuni neraka" (HR Ibnu Majah, 3377, shahihul Jami’ 6313)

Jika gambaran keadaan peminum minuman keras adalah sebagaimana yang kita ketahui di muka, maka bagaimana pula dengan gambaran keadaan orang-orang yang melakukan sesuatu yang lebih keras dan berbahaya dari itu, yakni sebagai pecandu narkotika dan sebagainya?

MEMAKAN HARTA HARAM

Orang yang tidak takut kepada Allah, tentu tak peduli dari mana harta dan bagaimana ia menggunakannya. Yang menjadi pikirannya siang dan malam hanyalah bagaimana menambah simpanannya meski berupa harta haram, baik dari hasil pencurian, suap, ghasap (merampas), pemalsuan, penjualan sesuatu yang haram, kegiatan ribawi, memakan harta anak yatim, atau gaji dari pekerjaan haram seperti perdukunan, pelacuran, menyanyi, korupsi dari baitul mal umat Islam atau harta milik umum, mengambil harta orang lain secara paksa, atau meminta disaat berkecukupan dan sebagainya.

Lalu dengan harta haram itu ia makan, berpakaian, berkendaraan, membangun rumah, atau menyewanya, melengkapi perabotannya, serta membuncitkan perutnya dengan hal-hal yang haram tersebut. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka neraka lebih pantas baginya” (HR Ath Thabrani dalam Al Kabir, 19/136, Shahihul Jami’ : 4495).

Pada hari kiamat ia akan ditanya tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan bagaimana ia menggunakannya. Di sana tentu ia akan mengalami kerugian dan kehancuran besar.

Karena itu, orang yang memiliki harta haram hendaknya segera berlepas diri daripadanya. Jika merupakan hak antar manusia maka ia harus segera mengembalikannya kepada yang berhak, dengan memohon maaf dan kerelaan, sebelum datang suatu hari yang hutang piutang tidak lagi dibayar dengan uang, tetapi dengan pahala atau dosa.

BERHUTANG DENGAN NIAT TIDAK MEMBAYAR

Dalam pandangan Allah, hak-hak hamba adalah sangat besar nilainya. Seseorang bisa saja bebas dari hak Allah hanya dengan taubat, tetapi tidak demikian halnya dengan hak yang berkaitan dengan hamba. Hak-hak yang berkaitan antara sesama manusia –yang belum terselesaikan– kelak akan diadili pada hari yang utang piutang tidak dibayar dengan dinar atau dirham tetapi dibayar dengan pahala atau dosa. Dalam kaitan hak antar sesama manusia Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak” (An Nisa : 58).

Di antara masalah yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah gampang berhutang. Ironisnya, sebagian orang berhutang tidak karena kebutuhan mendesak, tetapi untuk memenuhi kebutuhan mewah atau berlomba dengan tetangga-tetangga. Misalnya dalam membeli mobil model baru, perkakas rumah tangga atau berbagai kesenangan lainnya yang bersifat duniawi dan fana. Sebagian orang tak segan-segan membeli barang-barang secara kridit yang sebagiannya tak lepas dari syubhat atau sesuatu yang haram.

Mudah dalam berhutang akan menyeret seseorang pada kebiasaan menunda-nunda pembayaran, atau malah mengakibatkan hilangnya barang orang lain.

Memperingatkan akibat perbuatan ini, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Barangsiapa mengambil atau (menghutang) dan ia ingin melunasinya, niscaya Allah akan melunaskan hutangnya. Dan barangsiapa mengambil (menghutang) dengan keinginan untuk merugikannya (tidak membayar) niscaya Allah akan benar-benar membinasakannya (HR Al Bukhari,Fathul Bari : 5/54).

Banyak orang yang meremehkan soal hutang piutang, mereka menganggapnya masalah sepele, padahal di sisi Allah hutang-piutang merupakan masalah yang besar. Bahkan hingga seorang syahid yang memiliki beberapa keistimewaan yang agung, pahala yang besar dan derajat yang tinggi, tidak bisa lepas dari hutang piutang.

Dalil yang menegaskan hal tersebut adalah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :

“Mahasuci Allah, betapa kerasnya apa yang diturunkan Allah dalam urusan utang-piutang, demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, seandainya seorang laki-laki dibunuh di jalan Allah kemudian ia dihidupkan lalu dibunuh (lagi) kemudian di hidupkan, lalu dibunuh (lagi) sedang ia memiliki hutang, sungguh ia tak akan masuk surga sehingga dibayarkan untuknya hutang tersebut” (HR An Nasai, Al Mujtaba,7/413, Shahihul Jami’ :3594)

setelah mengetahui hal ini, masih tak di pedulikah orang-orang yang menggampangkan urusan utang-piutang?

MEMINTA-MINTA DI SAAT BERKECUKUPAN

Sahl bin Hanzhaliyah Radhiallahu’anhu meriwayatkan, bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam

“Barangsiapa meminta-minta sedang ia dalam keadaan berkecukupan, sungguh orang itu telah memperbanyak (untuk dirinya) bara api jahannam” mereka bertanya, “apakah (batasan) cukup sehingga (seseorang) tidak boleh meminta-minta?” Beliau Shallallahu’alaihi wasallam menjawab, “yaitu sebatas (cukup untuk) makan pada siang dan malam hari” (HR Abu Dawud:2/281, shahihul Jami’ :6280)

Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu meriwayatkan, bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :

“barangsiapa meminta-minta sedang ia dalam kecukupan, maka pada hari kiamat ia akan datang dengan wajah penuh bekas cakaran dan garukan” [HR Ahmad 1/388, Shahihul Jami’ 6255]

Di antara pengemis ada yang berderet di depan pintu masjid, mereka menghentikan dzikir para hamba Allah yang menuju atau pulang dari masjid dengan ratapan yang dibuat sesedih mungkin. Sebagian lain memakai modus agak berbeda, membawa dokumen dan berbagai surat palsu disertai blangko isian sumbangan. Ketika ia menghadapi mangsanya, ia mengada-ngada cerita sehingga berhasil mengelabuhi dan memperoleh uang.

Bagi keluarga tertentu, mengemis bahkan telah menjadi satu profesi. Mereka membagi-bagi tugas di antara keluarganya pada beberapa masjid yang ditunjuk. Pada saatnya, mereka berkumpul untuk menghitung penghasilan. Dan demikianlah, setiap masjid mereka jalajah. Padahal tak jarang mereka itu dalam kondisi cukup mampu dan sungguh Allah Maha Mengetahui kondisi mereka, dan bila mereka mati barulah terlihat warisannya.

Padahal sebetulnya masih banyak orang yang lebih membutuhkan, tetapi orang yang tidak tahu mengira mereka orang-orang mampu. Sebab mereka menahan diri dari meminta-minta, meskipun godaan kebutuhan sangat menjerat.

————————

—-

NB :

Berikut adalah Hadits Nabi Shallallahu’alaihi wasallam yang berkenaan dengan meminta minta, dinukil dari kitab Bulughul Maram oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani, diterjemahkan oleh A. Hasan, pada Bab Zakat mulai hadits ke 38 sd 48

—-

Hadits ke-38
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Orang yang selalu meminta-minta pada orang-orang, akan datang pada hari kiamat dengan tidak ada segumpal daging pun di wajahnya.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-39
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa meminta-minta harta orang untuk memperkaya diri, sebenarnya ia hanyalah meminta bara api. Oleh karenanya, silahkan meminta sedikit atau banyak.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-40
Dari Zubair Ibnu al-’Awwam Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Seorang di antara kamu yang mengambil talinya, lalu datang dengan seonggok kayu di atas punggungnya, kemudian menjualnya dan dengan hasil itu ia menjaga kehormatannya adalah lebih baik daripada ia meminta-minta orang yang terkadang mereka memberinya atau menolaknya.” Riwayat Bukhari

Hadits ke-41
Dari Samurah Ibnu Jundab Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Meminta-minta adalah cakaran seseorang terhadap mukanya sendiri, kecuali meminta kepada penguasa atau karena suatu hal yang amat perlu.” Hadits shahih riwayat Tirmidzi.

Hadits ke-42
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Zakat itu tidak halal diberikan kepada orang kaya kecuali lima macam, yaitu: Panitia zakat, atau orang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang berhutang, atau orang yang berperang di jalan Allah, atau orang miskin yang menerima zakat kemudian memberikannya pada orang kaya.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim, namun ia juga menilainya cacat karena mursal.

Hadits ke-43
Dari Ubaidillah Ibnu Adiy Ibnu al-Khiyar Radliyallaahu ‘anhu bahwa dua orang menceritakan kepadanya bahwa mereka telah menghadap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam untuk meminta zakat pada beliau. Lalu beliau memandangi mereka, maka beliau mengerti bahwa mereka masih kuat. Lalu beliau bersabda: “Jika kalian mau, aku beri kalian zakat, namun tidak ada bagian zakat bagi orang kaya dan kuat bekerja.” Riwayat Ahmad dan dikuatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.

Hadits ke-44
Dari Abdul Muttholib Ibnu Rabi’ah Ibnu Harits bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya zakat itu tidak patut bagi keluarga Muhammad, karena ia sebenarnya adalah kotoran manusia.” Dan menurut suatu riwayat: “Sesungguhnya ia tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-45
Jubair Ibnu Muth’im Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku dan Utsman Ibnu Affan pernah menghadap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, lalu kami bertanya: Wahai Rasulullah, baginda telah memberi seperlima dari hasil perang Khaibar kepada Banu al-Mutthalib dan baginda meninggalkan kami, padahal kami dan mereka adalah sederajat. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Banu al-Mutthalib dan Banu Hasyim adalah satu keluarga.” Riwayat Bukhari.

Hadits ke-46
Dari Abu Rafi’ Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah mengutus seseorang dari Banu Makhzum untuk mengambil zakat. Orang itu berkata kepada Abu Rafi’: Temanilah aku, engkau akan mendapatkan bagian darinya. Ia menjawab: Tidak, sampai aku menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam untuk menanyakannya. Lalu keduanya menghadap beliau dan menanyakannya. Beliau bersabda: “Hamba sahaya suatu kaum itu termasuk kaum tersebut, dan sesungguhnya tidak halal zakat bagi kami.” Riwayat Ahmad, Imam Tiga, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban.

Hadits ke-47
Dari Salim Ibnu Abdullah Ibnu Umar, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah memberikan sesuatu kepada Umar Ibnu Khattab. Lalu ia berkata: Berikanlah pada orang yang lebih membutuhkan daripada diriku.” Beliau bersabda: “Ambillah, lalu simpanlah atau bersedekahlah dengannya. Dan apa yang datang kepadamu dari harta semacam ini, padahal engkau tidak membutuhkannya dan tidak meminta, maka ambillah. Jika tidak demikian, maka jangan turuti nafsumu.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-48
Dari Qobishoh Ibnu Mukhoriq al-Hilaly Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah seorang di antara tiga macam, yakni orang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti; orang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup; dan orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga tiga orang dari kaumnya yang mengetahuinya menyatakan: “Si fulan ditimpa kesengsaraan hidup.” ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain tiga hal itu, wahai Qobishoh, adalah haram dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” Riwayat Muslim, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban.

Minggu, 05 April 2009

TIDAK ADIL DI ANTARA ANAK

Di antara orang tua ada yang sengaja memberikan perlakuan khusus dan istimewa kepada sebagian anaknya, anak-anak itu diberikan berbagai macam pemberian, sedangkan yang lain tidak demikian.

Menurut pendapat yang kuat, tindakan semacam itu hukumnya haram, jika tidak ada alasan yang membolehkannya. Misalnya anak tersebut memang dalam kondisi yang berbeda dengan anak-anak yang lain. Seperti sedang sakit atau dililit banyak utang sehingga tak mampu membayar atau tidak mendapat pekerjaan atau memiliki keluarga besar atau sedang menuntut ilmu atau karena ia hafal Al Qur’an sehingga ia diberi hadiah khusus oleh sang ayah

Secara umum, hal ini dibolehkan manakala masih dalam hal memberi nafkah kepada anak yang lemah, sedang sang ayah mampu – ket : Syaikh Bin Baz.

Jika sang ayah memberi anaknya sesuatu dengan sebab yang dibenarkan syara’, hendaknya ia berniat jika anaknya yang lain dalam kondisi yang sama, ia akan memberinya pula.

Dalilnya secara umum adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:

“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada Allah” (Al Maidah : 8)

Adapun dalilnya secara khusus adalah hadits riwayat Nu’man bin Basyir Radhiallahu’anhu:

Suatu hari sang ayah mengajaknya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, sang ayah berkata: “sesungguhnya aku telah memberikan kepada putraku ini seorang budak”. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bertanya : apakah setiap anakmu juga engkau beri hal yang sama? ia menjawab :” tidak!” Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :” kembalikanlah (budak itu)” (HR Al Bukhari, fathul Bari : 5/211). Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah di antara anakmu” ia berkata: “kemudian ia pulang lalu mengembalikan pemberiannya” (HR Al Bukhari, lihat Fathul Bari : 5/211). Dalam suatu riwayat disebutkan : “Jika begitu janganlah engkau menjadikanku saksi, karena aku tidak memberi kesaksian atas suatu kezhaliman ” (Shahih Muslim : 3/2/1243)

Menurut Imam Ahmad, anak laki-laki mendapat pemberian dua kali lipat bagian anak perempuan, yakni seperti dalam pembagian warisan [Masa’ilul Imam Ahmad, oleh Abu Dawud, hal. 204. Imam Ibnu Qayyim telah mentahqiq masalah ini dalam Hasyiah Ala Abi Dawud dengan keterangan yang sangat jelas]

Bila kita perhatikan kondisi sebagian keluarga, kita akan mendapatkan beberapa orang tua yang tidak takut kepada Allah dalam soal pengistimewaan sebagian anaknya atas anaknya yang lain dengan berbagai pemberian. Tindakan yang kemudian membuat anak saling cemburu, menumbuhkan permusuhan dan kebencian di antara sesama mereka.

Sebagian ayah mengistimewakan salah seorang anaknya hanya karena wajah anak tersebut mirip dengan keluarga dari pihak ayah, sedang yang lain dianak tirikan karena lebih menyerupai dengan wajah keluarga pihak ibu. Atau ia mengistimewakan anak-anak dari salah seorang istrinya, sedang anak-anak dari istri yang lain kurang ia pedulikan. Hal itu misalnya dengan memasukkan anak-anak dari istri yang paling disayanginya ke sekolah-sekolah favorit, sedang anak-anaknya dari istri yang lain tidak demikian.

Padahal akibat tindakan tersebut kelak akan kembali kepada dirinya sendiri. Sebab pada umumnya, mereka yang dianak tirikan tidak mau membalas budi kepada orang tuanya.

Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Bukankah akan menyenangkanmu jika mereka sama-sama berbuat baik kepadamu” (HR Ahmad, 4/269: Shahih Muslim : 1623)

TIDAK MEMENUHI HAK-HAK PEKERJA

Dalam hubungan antara pemilik usaha dengan pekerja, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam menganjurkan disegerakannya pemberian hak pekerja, beliau bersabda :

“berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya” [HR Ibnu Majah, 2/817; Shahihul Jami’ 1493]

Lebih bijaksana jika dikomentari tentang derajat hadits, sebab ia termasuk Hadits dhaif – ket : Syaikh bin Baz.

Salah satu bentuk kezhaliman di tengah masyarakat muslim adalah tidak memberikan hak-hak pegawai, pekerja, karyawan atau buruh sesuai dengan yang semestinya. Bentuk kezhaliman itu beragam di antaranya :

1. sama sekali tidak memberikan hak-hak pekerja, sedang si pekerja tidak memiliki bukti. Dalam hal ini, meskipun si pekerja kehilangan haknya di dunia, tetapi di sisi Allah pada hari kiamat kelak, hak tersebut tidak hilang. Orang zhalim itu karena telah memakan harta orang yang dizhaliminya, diambil daripadanya kebaikan yang pernah ia lakukan untuk diberikan kepada orang yang dizhalimi. Jika kebaikannya telah habis, maka dosa yang ia zhalimi itu diberikan kepadanya, lalu ia dicampakkan di neraka.

2. mengurangi hak pekerja dengan cara yang tidak dibenarkan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“kecelakaan besarlah bagi mereka yang curang” (Al Muthaffifin :1)

Hal itu sebagaimana banyak dilakukan pemilik usaha terhadap para pekerja yang datang dari daerah. Di awal perjanjian, mereka sepakat terhadap jumlah upah tertentu. tetapi jika si pekerja telah terikat dengan kontrak dan memulai pekerjaannya, pemilik usaha mengubah secara sepihak isi perjanjian lalu mengurangi dan memotong upah pekerjaannya dengan berbagai dalih. Si pekerja tentu tidak bisa berkutik dengan posisinya yang serba sulit; antara kehilangan pekerjaan dan upah di bawah batas minimum. Bahkan terkadang si pekerja tak mampu membuktikan hak yang mesti ia terima, akhirnya si pekerja hanya bisa mengadukan halnya kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Jika pemilik usaha yang zhalim itu seorang muslim sedang pekerjanya seorang kafir, maka kezhaliman yang dilakukannya termasuk bentuk menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, sehingga dialah yang menanggung dosa orang tersebut.

3. memberi pekerjaan atau menambah waktu kerja (lembur), tetap hanya memberikan gaji pokok dan tidak memperhitungkan pekerjaan tambahan dan waktu lembur.

4. mengulur-ulur pembayaran gaji, sehingga tidak memberikan gaji kecuali setelah melalui usaha keras pekerja, baik berupa pengaduan, tagihan, hingga usaha lewat pengadilan.

Mungkin maksud pengusaha menunda-nunda pemberian gaji agar si pekerja bosan, lalu meninggalkan haknya dan tidak lagi menuntut. Atau selama tenggang waktu tertentu, ia ingin menggunakan uang pekerja untuk suatu usaha. Dan tidak mustahil ada yang membungakan uang tersebut, sedang pada saat yang sama, para pekerja merana tidak mendapatkan apa yang dimakan sehari-hari, juga tak bisa mengirim nafkah kepada keluarga dan anak-anaknya yang sangat membutuhkan, padahal demi merekalah para pekerja itu membating tulang jauh di negeri orang. Sungguh celakalah orang yang zhalim itu, kelak pada hari kiamat mereka akan mendapat siksa yang sangat pedih dari Allah Subhanahu wata’ala.

Dalam riwayat dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu disebutkan, bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Tiga jenis (manusia) yang aku menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, laki-laki yang memberi dengan namaKu lalu berkhianat, laki-laki yang menjual orang merdeka (bukan budak) lalu memakan harga uang hasil penjualannya dan laki-laki yang mempekerjakan, sedang ia memenuhi pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya” (HR Al Bukhari, Fathul Bari :5/211).

MENERIMA HADIAH SETELAH MENOLONG

Pangkat dan kedudukan di tengah manusia -jika disyukuri- merupakan salah satu nikmat Allah Subhanahu wata’ala atas hambaNya. Di antara cara bersyukur atas nikamat ini adalah dengan menggunakan pangkat dan kedudukan tersebut buat mashlahat dan kepentingan umat. Ini merupakan realisasi dari sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :

“Barangsiapa di antara kalian bisa memberi manfaat kepada saudaranya, hendaknya ia lakukan” (HR Muslim :4/1726).

Orang yang dengan pangkatnya bisa memberikan manfaat kepada saudaranya sesama muslim, baik dalam mencegah kezhaliman daripadanya atau mendatangkan manfaat untuknya –jika niatnya Ikhlas- tanpa diikuti perbuatan haram atau merugikan orang lain ia akan mendapat pahala di sisi Allah Tabaroka wata’ala. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :

“Berilah pertolongan, niscaya kalian diberi pahala” (HR Abu Dawud, 5132, Hadits ini terdapat dalam shahihain, Fathul Bari, 10/450, bab Ta’awanul mukminin Ba’dhuhum Ba’dha).

Tetapi ia tidak boleh mengambil upah dari pertolongan dan perantaraan yang ia berikan. Ini berdasarkan hadits marfu’ dari Abu Umamah:

“barangsiapa memberi pertolongan kepada seseorang, lalu ia diberi hadiah (atas pertolongan itu) kemudian (mau) menerimanya, sungguh ia telah mendatangi pintu yang besar di antara pintu-pintu riba” (HR Imam Ahmad, 5/261, shahihul jami’ : 6292).

Sebagian orang menggunakan pangkat dan jabatannya untuk mengeruk keuntungan materi. Misalnya dengan mensyaratkan imbalan dalam pangangkatan kepegawaian seseorang, atau dalam memindahtugaskan pegawai dari satu daerah ke daerah lain, atau juga dalam mengobati pasien yang sakit, dan hal lain yang semacamnya.

Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz, menurut pendapat yang kuat, imbalan yang diterimanya itu hukumnya haram. Berdasarkan hadits Abu Umamah sebagaimana telah disebut di muka. Bahkan secara umum hadits itu mencakup pula penerimaan imbalan yang tidak disyaratkan di muka.

cukuplah orang yang berbuat baik itu mengharap imbalannya dari Allah kelak pada hari kiamat. Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Al Hasan bin Sahal meminta pertolongan dalam suatu keperluan, sehingga ditolongnya. Laki-laki itu berterima kasih kepada Al Hasan. Tetapi Al Hasan bin Sahal berkata :” Atas dasar apa engkau berterima kasih kepada kami ? Kami memandang bahwasanya pangkat wajib dizakati, sebagaimana harta wajib dizakati.” [Al Adab Asy Syar’iyah oleh Ibnu Muflih : 2/176]

Perlu dicatat, ada perbedaan antara mengupah dan menyewa seseorang untuk melakukan tugas, mengawasi atau menyempurnakannya dengan menggunakan pangkat dan kedudukannya untuk tujuan materi. Yang pertama, jika memenuhi persyaratan syari’at diperbolehkan karena termasuk dalam bab sewa menyewa, sedang yang kedua hukumnya haram.

MERAMPAS TANAH MILIK ORANG LAIN

Jika telah hilang rasa takut kepada Allah Subhanahu wata’ala, maka kekuatan dan kelihaian menjadi bencana bagi pemiliknya. Ia akan menggunakan anugrah itu untuk berbuat zhalim, misalnya dengan menguasai harta orang lain. Termasuk di dalamnya merampas tanah milik orang lain. Ancaman untuk orang yang melakukan hal tersebut sungguh amat keras sekali.

Dalam hadits marfu’ dari Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu disebutkan :

“Barang siapa mengambil tanah (orang lain) meski sedikit dengan tanpa hak niscaya dia akan ditenggelamkan dengannya pada hari kiamat sampai ke (dasar) tujuh lapis bumi” (HR Al Bukhari, lihat fathul Bari : 5/103).

Ya’la bin Murrah Radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Siapa yang menzhalimi (dengan mengambil) sejengkal dari tanah (orang lain) niscaya Allah membebaninya dengan menggali tanah tersebut (dalam riwayat Ath Thabrani : menghadirkannya) hingga akhir dari tujuh lapis bumi, lalu Allah mengkalungkannya (di lehernya) pada hari kiamat sehingga seluruh manusia diadili” (HR Ath Thabrani dalam Al Kabir, 22/270; shahihul jam’: 2719).

Termasuk di dalamnya, mengubah batas dan patok-patok tanah, sehingga tanahnya menjadi luas dengan mengurangi tanah milik tetangganya. Mereka itulah yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam sabdanya :

“Allah melaknat orang yang mengubah tanda-tanda (batasan) tanah” (HR Muslim, syarah Nawawi, 13/141).

MEMBERI ATAU MENERIMA SUAP ( Dosa Yang Dianggap Biasa )

Memberi uang suap kepada qadhi atau hakim agar ia membungkam kebenaran atau melakukan kebatilan merupakan suatu kejahatan. Sebab perbuatan itu mengakibatkan ketidakadilan dalam hukum, penindasan orang yang berada dalam kebenaran serta menyebarkan kerusakan di bumi. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Dan janganlah sebagaian kamu memakan harta kalian di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu memberikannya kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda sebagian orang, dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Al Baqarah : 188).

Dalam sebuah hadits marfu’ riwayat Abu Hurairah disebutkan :

“Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam (urusan) hukum” (HR Ahmad, 2/387; shahihul jami’ : 5069).

Adapun jika tak ada jalan lain lagi selain suap untuk mendapatkan kebenaran atau menolak kezhaliman maka hal itu tidak termasuk dalam ancaman tersebut.

Saat ini, suap menyuap sudah menjadi kebiasaan umum, bagi sebagian pegawai, suap menjadi income / pemasukan yang hasilnya lebih banyak dari gaji yang mereka peroleh. Untuk urusan suap menyuap banyak perusahaan dan kantor yang mengalokasikan dana khusus. Berbagai urusan bisnis atau mua’malah lainnya, hampir semua dimulai dan di akhiri dengan tindak suap. Ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi orang-orang miskin. Karena adanya suap, undang-undang dan peraturan menjadi tak berguna lagi. Soal suap pula yang menjadikan orang yang berhak diterima sebagai karyawan digantikan mereka yang tidak berhak.

Dalam urusan administrasi misalnya, pelayanan yang baik hanya diberikan kepada mereka yang mau membayar, adapun yang tidak membayar, ia akan dilayani asal-asalan, diperlambat, atau diahirkan. Pada saat yang sama, para penyuap yang datang belakangan, urusannya telah selesai sejak lama.

Karena soal suap menyuap, uang yang semestinya milik mereka yang bekerja, bertukar masuk kedalam kantong orang lain, disebabkan oleh hal ini, juga hal yang lain maka tak heran jika Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memohon agar orang-orang yang memiliki andil dalam urusan suap menyuap semuanya dijauhkan dari rahmat Allah.

Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Semoga laknat Allah atas penyuap dan orang yang disuap” (HR Ibnu Majah, 2313; shahihul jam’ : 5114).

MENCURI ( Dosa Yang Dianggap Biasa )

Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa dan bijaksana. (Al Maidah: 38 ).

Di antara kejahatan pencurian yang paling besar adalah mencuri barang-barang milik hujjaj dan mereka yang sedang umrah di Baitullah Makkah. Pencuri semacam ini tidak lagi memperhitungkan ketentuan- ketentuan Allah bahwa ia sedang berada di Bumi yang paling mulia di sekeliling Ka’bah. Dalam kisah tentang shalat kusuf Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Dan sungguh telah diperlihatkan api neraka, yaitu saat kalian melihatku terlambat karena aku takut hangus (oleh jilatannya) dan sehingga aku melihat di dalamnya pemilik mihjan (tongkat berkeluk kepalanya) menyeret ususnya di dalam nereka. Dahulunya ia mencuri (barang milik) orang yang haji. Jika ketahuan, ia berkilah, Barang itu terpaut di mihjanku” tetapi jika orang itu lengah dari barangnya, maka si pencuri membawanya (pergi) ” (HR Muslim : 904).

Termasuk mencuri terbesar adalah mencuri harta milik umum. Sebagian orang yang melakukannya berdalih, kami mencuri sebagaimana yang dilakukan orang lain. Mereka tidak memahami bahwa pencurian itu berarti mencuri dari harta segenap umat Islam. Sebab harta milik umum berarti milik segenap umat Islam. Sedangkan apa yang dilakukan oleh orang lain yang tidak takut kepada Allah, bukanlah alasan sehingga mereka dibiarkan mencuri.

Sebagian orang mencuri harta milik orang-orang kafir dengan menjadikan kekafiran mereka sebagai dalih. Ini tidak benar. Orang kafir yang hartanya boleh diambil adalah mereka yang memerangi umat Islam. Padahal, tidak semua perusahaan milik orang-orang kafir atau individu dari mereka masuk dalam kategori tersebut.

Modus pencurian amat beragam. Di antaranya mencopet, mengulurkan tangan ke saku orang lain secara cepat dan mengambil isinya. Sebagian masuk rumah orang lain dengan kedok sebagai tamu, lalu menjarah barang-barang di dalam rumah. Sebagian lain mencuri dari koper atau tas tamunya. Ada pula yang masuk ke toko atau supermarket lalu mengutil barang yang kemudian ia selipkan di balik baju, seperti yang dilakukan sebagian wanita.

Sebagian orang meremehkan pencurian sesuatu yang jumlahnya sedikit atau tak berharga, padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telor sehingga dipotong tangannya, dan (pencuri) yang mencuri seutas tali sehingga ia dipotong tangannya” (HR Al Bukhari, lihat Fathul Bari : 12/81).

Setiap orang yang mencuri sesuatu , betapapun kecil nilainya, harus mengembalikan kepada pemiliknya, setelah sebelumnya ia bertaubat kepada Allah Tabaroka wata’ala. Pengembalian itu baik secara tarang-terangan atau rahasia, secara pribadi atau perantara. Adapun jika tak mampu setelah usaha maksimal untuk mengembalikan kepada pemiliknya atau ahli warisnya, maka hendaknya ia menyedekahkan barang tersebut dengan niat pahalanya untuk pemilik barang tersebut.

Hukum Merayakan Ulang Tahun

assalamualaikum.wr.wb


Pak Ustadz, bagaimana hukumnya merayakan ulang tahun,sedangkan kita tahu budaya ulang tahun itu kan dari Barat, bukan kah yang menyerupai kaum kafir itu di anggap kafir juga. Mohon jawabannya,karena penting sekali bagi saya. Terima kasih.


wassalamualaikum.wr.wb
jawaban

Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Perayaan ulang tahun atas kelahiran seseorang atau suatu organisasi tertentu tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Karena itu bila dilakukan, tidak bernilai ibadah.

Cukup banyak ulama tidak menyetujui perayaan ulang tahun yang diadakan tiap tahun. Tentu mereka datang dengan dalil dan hujjah yang kuat. Di antara alasan penolakan mereka terhadap perayaan ulang tahun antara lain:

1. Ulang tahun bila sampai menjadi keharusan untuk dirayakan dianggap sebuah bid''ah. Sebab Rasulullah SAW belum pernah memerintahkannya, bahkan meski sekedar mengisyaratkannya pun tidak pernah. Sehingga bila seorang muslim sampai merasa bahwa perayaan hari ulang tahun itu sebagai sebuah kewajiban, masuklah dia dalam kategori pembuat bid''ah.

2. Ulang tahun adalah produk Barat/ non muslim

Selain itu, kita tahu persis bahwa perayaan uang tahun itu diimpor begitu saja dari barat yang nota bene bukan beragama Islam. Sedangkan sebagai muslim, sebenarnya kita punya kedudukan yang jauh lebih tinggi. Bukan pada tempatnya sebagai bangsa muslim, malah mengekor Barat dalam masalah tata kehidupan.

Seolah pola hidup dan kebiasaan orang Barat itu mau tidak mau harus dikerjakan oleh kita yang muslim ini. Kalau sampai demikian, sebenarnya jiwa kita ini sudah terjajah tanpa kita sadari. Buktinya, life style mereka sampai mendarah daging di otak kita, sampai-sampai banyak di antara kita mereka kurang sreg kalau pada hari ulang tahun anaknya tidak merayakannya. Meski hanya sekedar dengan ucapan selamat ulang tahun.

3. Apakah Manfaat Merayakan Ulang Tahun?

Selain itu perlu juga kita renungkan sebagai muslim, apakah tujuan dan manfaat sebenarnya bisa kitadapat dari perayaan ini? Adakah nilai-nilai positif di dalamnya? Ataukah sekedar meneruskan sebuah tradisi yang tidak ada landasannya? Apakah ada di antara tujuan yang ingin dicapai itu sesuatu yang penting dalam hidup ini? Atau sekedar penghamburan uang?

Pertanyaan berikutnya,adakah sesuatu yang menambah iman, ilmu atau amal? Atau menambah manfaat baik pribadi, sosial atau lainnya? Pertanyaan berikutnya dan ini akan menjadi sangat penting, adakah dalam pelaksanaan acara seperti itu maksiat dan dosa yang dilanggar?

Yang terkahir namun tetap penting, bila ternyata semua jawaban di atas positif, dan acara seperti itu menjadi tradisi, apakah tidak akan menimbulkan salah paham pada generasi berikut seolah-olah acara seperti ini ‘harus’ dilakukan? Hal ini seperti yang terjadi pada upacara peringat hari besar Islam baik itu kelahiran, isra` mi`raj dan sebagainya.

Jangan sampai dikemudian hari, lahir generasi yang menganggap perayaan ulang tahun adalah ‘sesuatu’ yang harus terlaksana. Bila memang demikian, bukankah kita telah kehilangan makna?

Kalau menimbang-nimbang pernyataan di atas, ada baiknya kita yang sudah terlanjur merayakan ulang tahun buat anak atau bahkan untuk diri kita sendiri melakukan evaluasi besar.

Sebaliknya, mungkin ada baiknya pemikiran yang disampaikan oleh Dr. Yusuf Al-Qradawi tentang ulang tahun untuk anak. Misalnya, pada saat anak itu berusia 7 tahun, tidak ada salahnya kita ajak dia untuk menyampaikan pesan-pesan dalam acara khusus tentang keadaannya yang kini menginjak usia 7 tahun. Di mana Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada para orang tua untuk menyuruh anaknya shalat di usia itu.

Bolehlah dibuat acara khusus untuk penyampaian pesan ini, agar terasa ada kesan tertentu di dalam diri si anak. Bahwa sejak hari itu, dirinya telah mendapatkan sebuah tugas resmi, yaitu diperintahkan untuk shalat.

Nanti di usia 10 tahun, hal yang sama boleh dilakukan lagi, yaitu sebagaimana perintah Rasulullah SAW untuk menambah atau menguatkan lagi perintah shalat. Kali ini dengan ancaman pukulan bila masih saja malas melakukan shalat. Bolehlah diadakan suatu acara khusus di mana inti acaranya menetapkan bahwa si anak hari ini sudah berusia 10 tahun, di mana Rasulullah SAW membolehkan orang tua memukul anaknya bila tidak mau shalat.

Kira-kira usia 15 tahun lebih kurangnya, ketika anak pertama kali baligh, boleh juga diadakan acara lagi. Kali ini orang tua menegaskan bahwa anak sudah termasuk mukallaf, sehingga semua hitungan amalnya baik dan buruk sejak hari itu akan mulai dicatat. Bolehlah pada hari itu orang tua membuat acara khusus yang intinya menyampaikan pesan-pesan ini.

Jadi bukan tiap tahun bikin pesta undang teman-teman, lalu tiup lilin, potong kue, bernyanyi-nyanyi, memberi kado. Pola seperti ini sama sekali tidak diajarkan di dalam agama kita dan cenderung tidak ada manfaatnya, bahkan kalau mau jujur, justru merupakan cerminan dari sebuah mentalitas bangsa terjajah yang rela mengekor pada tradisi bangsa lain.

Bukankah Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari padanya? Lalu mengapa kita bangsa Islam ini harus mengekor pada tradisi bangsa lain yang jauh lebih rendah?

Mungkin jawabannya yang paling jujur adalah...istafti qalbak.... Mintalah fawa kepada hati nuranimu...

Wssalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc


=====================

Tulisan lain sebagai referensi:

http://www.almanhaj.or.id/content/1584/slash/0

Hukum Merayakan Ulang Tahun

Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan hati anak dan keluarganya ?

Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid'ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid'ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda:

Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bidah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka

Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.

Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.

Saat memasuki kota Madinah, Nabi ShallallahuËœalaihi wa sallam mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari ËœIed, maka beliau bersabda.

Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu 'Idul Fitri dan 'Idul Adha

Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu Ëœalaihi wa sallam bersabda.

Artinya : Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka

Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.

Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : "Semoga Allah memanjangkan umurmu kecuali dengan keterangan " Dalam ketaatanNya atau "Dalam kebaikan atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.

Allah Subhanahu wa ala berfirman.

"Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana amat teguh[Al-Araf : 182-183]

Dan firman Allah Subhanahu wa ala.

Artinya : Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan [Ali-Imran : 178]

[Fatawa Manarul Islam 1/43]

[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]

Hukum Merayakan Hari Lahir (ulang tahun) Seseorang

Apa hukum merayakan berlalunya satu atau dua tahun atau lebih atau kurang dari dua tahun dari kelahiran seseorang yang biasa disebut ulang tahun atau meniup lilin. Dan apa hukumnya menghadiri pesta perayaan ini. Apakah bila seseorang diundang pada acara tersebut wajib menghadirinya ataukah tidak. Berilah kami jawaban. Dan semoga Allah memberi pahala bagi Anda.

Alhamdulillah. Dalil-dalil syariat dari kitab dan sunnah menunjukkan bahwa perayaan hari ulang tahun termasuk bid'ah yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada asalnya dalam syariat yang suci dan tidak boleh memenuhi undangan tersebut karena hal itu berarti mendukung dan mendorong kepada kebid'ahan dan Allah Ta'ala berfirman:

"Atau apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang menetapkan syariat bagi mereka berupa agama yang tidak diizinkan oleh Allah."

Dan firman Allah:

"Kemudian Kami jadikan kamu di atas syariat dari urusan itu maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka tidak akan dapat menolak dari kamu dari siksa Allah sedikitpun. Dan sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Dan Allah adalah Pelindung bagi orang-orang yang bertaqwa." (Q.S Al Jatsiyah : 18).

Dan Allah berfirman:

"Ikutilah olehmu apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan janganlah kamu mengikuti penolong lain selain-Nya. Sedikit sekali di antaramu yang mengambil pelajaran."

Ada hadits yang shahih dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bahwa sesungguhnya beliau bersabda:

"Barangsiapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka dia tertolak."

Dikeluarkan oleh Muslim di dalam shahihnya.

Dalam hadits lain beliau bersabda:

"Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam . Dan sejelek-jelek urusan adalah hal yang diada-adakan dan setiap kebid'ahan adalah sesat."

Hadits-hadits yang semakna dengan ini sangat banyak.

Kemudian perayaan ini selain bid'ah munkaroh yang tidak ada asalnya dari syariat juga di dalamnya terkandung tasyabbuh (menyerupai) dengan Yahudi dan Nashara tentang peringatan hari lahir. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam telah bersabda mewanti-wanti dari sunnah dan jalan hidup mereka:

"Kalian pasti akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal sehingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak pun pasti kalian akan memasukinya." Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashara ?" Beliau menjawab: "Siapa lagi ?" Dikeluarkan oleh Bukhari Muslim daalam Shahihain.

Dan makna " Siapa lagi ?" artinya merekalah orang-orang yang dimaksud dengan perkataan Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam ini. Beliau Shalallahu 'Alaihi Wasallam pun bersabda:

"Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum itu."
Fatawa Islam 1/115.

Hukum Alloh SWT : Hukum Merayakan Hari Ulang Tahun

Seorang akhwat mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari kerabat dekatnya dan tidak jarang dari sahabatnya ataupun teman dekatnya yang tahu persis kapan ia dilahirkan. Terkadang agak bingung juga untuk menanggapinya karena mereka ini memang masih ''jahil'' tentang masalah ini.Menjelaskan dengan lemah lembut dan hikmah adalah merupakan langkah yang bijaksana sambil menunggu 'timing' yang tepat dimana nasehat ini bisa masuk kedalam hati mereka, ternyata banyak yang akhirnya mengerti dan berkomentar... ''ooo..ternyata hal itu dilarang ya?? baru tahu deh saya...!'' wah senangnya hati kita apabila dakwah ini berhasil dan sukses dan bila tidak maka memang hanya tugas kita menyampaikan saja, selebihnya masalah hidayah adalah ditangan-Nya semata.Jadi jangan berkecil hati ya,..??Nah, mari kita simak fatwanya yang membahas tentang masalah merayakan ulang tahun ini, agar hati kita jadi tambah terbuka dan mantap, insya Allah...!!
rn

Pertanyaan:

Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya tentang) Apakah hukum merayakan Hari Ulang Tahun ?

Jawaban:
Merayakan Hari Ulang Tahun tidak ada landasannya dalam syara'/agama kita yang suci bahkan ia (perbuatan itu) adalah bid'ah berdasarkan kepada sabda Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam : ''Barangsiapa yang mendatangkan suatu perbuatan baru (mengada-ada) dalam urusan kita ini (agama) sesuatu yang bukan darinya maka hal itu adalah ditolak''. (Hadits Muttafatwa 'ala shihhatihi = hadits yang sepakati atas keshahihannya).

Dan dalam lafazh Imam Muslim yang dita'liq kan (diriwayatkan secara mu'allaq) oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam shahihnya dengan lafazh yang Jazm (tegas, pasti) : ''Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang bukan dari urusan kami (agama) maka hal itu adalah ditolak''.

Telah diketahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam tidak pernah merayakan Hari Lahir (Hari Ulang Tahun) beliau selama hidupnya, tidak juga memerintahkan hal itu serta tidak pernah mengajarkannya kepada para shahabat beliau.. demikian juga halnya dengan para al-Khulafaur Rasyidun. Dan seluruh shahabat beliau tidak pernah melakukan hal itu padahal mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui sunnah Nabi, orang-orang yang paling dicintai oleh beliau dan orang-orang yang paling komitmen dalam menjalankan ajaran beliau.

Maka andaikata perayaan Hari Lahir (Maulid Nabi) adalah disyari'atkan niscaya mereka pasti berlomba-lomba merayakannya. Begitu juga (hal ini) tidak pernah dilakukan dan diperintahkan/dianjurkan oleh seorang pun dari para ulama yang hidup pada abad-abad utama. Maka berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan termasuk ajaran syara'/agama yang karenanya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi Wasallam diutus dan kami bersaksi dihadapan Allah Ta'ala dan seluruh kaum Muslimin bahwasanya andaikata beliau melakukan atau memerintahkannya atau dilakukan oleh para shahabatnya radhiallahu 'anhum niscaya kami akan berlomba-lomba untuk melakukannya dan menyeru kepadanya sebab kami " alhamdulillah " adalah termasuk orang-orang yang paling komitmen dalam mengikuti sunnah beliau dan mengagungkan perintah dan larangannya.

Kami memohon kepada Allah agar kami dan seluruh kaum Muslimin dapat berketetapan hati (tsabat) dalam menjalankan kebenaran dan terhindar dari setiap hal yang bertentangan dengan syara' Allah yang suci, sesungguhnya Dia adalah Maha Pemurah lagi Mulia.

[al-Fatwa al-Jami'ah lil Mar-ah al-Muslimah, Jilid. III, hal. 1099].

Hukum Alloh SWT : Berjabat Tangan Dengan Lawan Jenis Bukan Mahram

Pada zaman sekarang, jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan hampir sudah menjadi tradisi. Tradisi yang telah membudaya dan mendarah daging itu mengalahkan akhlak Islami yang mestinya ditegakkan. Bahkan mereka menganggap kebiasaan itu lebih baik dan lebih tinggi nilainya dari pada syariat Allah yang mengharamkannya. Sehingga jika salah seorang dari mereka anda ajak dialog tentang hukum syariat, dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas, tentu serta merta ia akan menuduh anda sebagai orang kolot, ketinggalan zaman, kaku, sulit beradaptasi, ekstrim, hendak memutuskan tali silaturrahim, menggoyahkan niat baik.dan sebagainya.

Sehingga dalam masyarakat kita, berjabat tangan dengan anak (perempuan) paman atau bibi, dengan istri saudara atau istri paman, baik dari pihak ayah maupun ibu lebih mudah daripada minum air. Seandainya mereka melihat secara jernih dan penuh pengetahuan tentang bahaya persoalan tersebut menurut syara' tentu mereka tidak akan melakukan hal tersebut. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Artinya: "Sungguh ditusuknya kepala salah seorang dari kalian dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (HR. Ath Thabrani dalam Shahihul Jami' hadits no.4921)

Kemudian tak diragukan lagi, hal ini termasuk zina tangan, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

Artinya: "Kedua mata berzina, kedua tangan berzina, kedua kaki berzina dan kedua kemaluan pun berzina." (HR Ahmad 1/412; Shahihul Jami' hadits no.4126)

Dan, adakah orang yang hatinya lebih bersih dari hati Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam? Namun begitu, beliau mengatakan: "Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita." (HR Ahmad 6/357; Shahihul Jami' hadits no.2509) Beliau juga bersabda: "Sesungguhnya aku tidak menyentuh tangan wanita." (HR. Ath Thabrani dalam Al-Kabir, 24/342; Shahihul Jami' hadits no.70554, lihat Al-Ishabah, 4/354, cet Darul Kitab Al-Arabi)

Dan dari Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata: "Demi Allah, sungguh tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak (pernah) menyentuh tangan perempuan sama sekali, tetapi beliau membai'at mereka dengan perkataan." (HR Muslim, 3/1489) Hendaknya takut kepada Allah, orang-orang yang mengancam cerai istrinya karena tidak mau berjabat tangan dengan kolega-koleganya. Perlu juga diketahui, berjabat tangan dengan lawan jenis, meski memakai alas (kaos tangan) hukumnya tetap HARAM.

Diketik ulang oleh Ummu Abdillah (KSA) untuk Jilbab Online dari: Dosa-dosa Yang Dianggap Biasa, Muhammad Shalih Al Munajjid